RILIS BERITA

Lepas dari beban elektabilitas, empat hari setelah dilantik kembali sebagai presiden, Joko Widodo menaikkan besaran iuran peserta mandiri Jaminan Kesehatan Nasional sekitar 70-116% dari iuran sebelumnya untuk semua kelas.

Dewan Perwakilan Rakyat menolak kenaikan iuran untuk peserta mandiri kelas tiga, yang biayanya paling rendah, karena dianggap memberatkan. Meski demikian, kebijakan yang tidak populer itu akan berlaku mulai 1 Januari 2020. `

Jokowi menaikkan premi dengan tujuan mengatasi defisit yang dihadapi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Namun, kenaikan premi ini berpotensi mendorong peserta mandiri untuk pindah ke kelas lebih rendah, serta peserta sehat untuk memilih tidak membayar iuran. Hal ini membawa risiko alih-alih memperbaiki defisit justru akan memperlebar defisit keuangan BPJS Kesehatan. Hal ini didukung oleh bukti bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan khusus peserta mandiri pada 2016 tidak mengurangi tren defisit.

Dampak kebijakan baru

Dengan peraturan presiden terbaru, efektif per 1 Januari 2020 seorang peserta mandiri kelas tiga JKN yang sebelumnya membayar Rp30.000 harus keluar uang Rp 42.000. Begitu juga yang tadinya kelas dua dari Rp51.000 menjadi Rp110.000 dan kelas satu dari Rp80.000 jadi Rp160.000.

Setidaknya ada dua kemungkinan dampak kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri, yang jumlahnya sekitar 14% dari total peserta JKN yang kini lebih dari 220 juta orang.

Pertama, karena peserta mandiri harus membayar premi setiap bulan, mereka yang relatif sehat akan terpengaruh oleh perubahan tingkat premi. Kelompok yang relatif lebih sehat dapat menganggap kenaikan premi akan mengurangi atau menghapus konsumsi mereka terhadap barang/jasa yang lain. Implikasinya, bagi sebagian orang pilihannya adalah tidak membayar iuran JKN untuk mempertahankan konsumsi barang-barang lainnya.

Jika ini terjadi, maka kelompok peserta mandiri akan lebih didominasi oleh orang yang relatif lebih sakit. Padahal, diperlukan kontribusi peserta yang sehat agar subsidi silang dari orang sehat ke orang sakit terjadi.

Kedua, ada kemungkinan terjadi perpindahan kelas peserta mandiri mengingat lebarnya perbedaan kenaikan premi untuk masing-masing kelas. Tahun depan, peserta mandiri kelas 1 harus membayar dua kali lipat besaran premi tahun lalu (Rp80.000). Peserta kelas 1 mungkin saja memilih turun ke kelas 2, dengan konsekuensi hanya menambah Rp30.000. Begitu juga halnya dengan peserta kelas 2 yang kini membayar Rp51.000 mungkin pindah ke kelas 3, malah menghemat Rp9.000 per bulan.

Artinya, jika kalkulasi pendapatan BPJS Kesehatan tidak memperhitungkan kemungkinan dinamika perpindahan ini, yang terjadi justru penurunan pendapatan bagi BPJS Kesehatan. Lebih jauh, hal ini dapat berimplikasi layanan akses rumah sakit yang terbatas bagi kelas 3 karena jumlah pengguna kelas 3 yang membludak.

Yang mengkhawatirkan dari kemungkinan ini adalah jika peserta mandiri kelas 3 yang sakit tapi tak lagi mampu membayar premi baru, maka ia akan terpaksa keluar dari skema JKN dan tidak mendapat layanan kesehatan. Sebab studi terbaru dari Universitas Gadjah Mada pada 2016 telah menunjukkan kemampuan dan keinginan membayar iuran JKN bagi kelas 3 mandiri berada pada kisaran Rp13.000-18.000 per bulan.

Penyebab defisit

Selain karena struktur iuran masih di bawah hitungan aktuaria dan besarnya (lebih dari 20%) pembiayaan untuk penyakit berat seperti gagal ginjal, penyakit jantung, kanker, dan stroke, defisit anggaran BPJS Kesehatan diduga bersumber dari kelompok peserta mandiri yang tergolong Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).

Kelompok PBPU didominasi oleh para pekerja sektor informal dengan estimasi 60% dari pekerja di Indonesia dan secara historis memiliki tingkat pemanfaatan layanan kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan premi yang mereka bayarkan kepada BPJS Kesehatan.

Rasio iuran dan klaim kelompok PBPU melebihi 100%, sementara kelompok ini hanya 14% dari total peserta JKN. Dengan kata lain, peserta PBPU mengajukan klaim lebih banyak dibanding yang dibayarkan.

Dalam sudut pandang ekonomi, fenomena kelompok PBPU adalah bentuk adverse selection, keadaan yang menggambarkan mereka yang memiliki keluhan sakit tapi belum mendapatkan perawatan secara alami akan melihat peluang dan menggunakan layanan yang ditawarkan oleh JKN. Artinya, proporsi pengeluaran kelompok PBPU yang besar disebabkan karena kondisi awal peserta kelompok ini yang relatif lebih sakit.

Opsi Kebijakan

Untuk mengantisipasi kedua kemungkinan dampak kenaikan di atas, ada beberapa alternatif kebijakan.

Pertama, antisipasi peserta mandiri kelas 3 yang terpaksa keluar dari keanggotaan JKN dengan menerapkan subsidi parsial. Peserta kelas 3 diberikan opsi untuk mengajukan subsidi sebesar Rp12.000 sesuai dengan selisih besaran premi lama dan premi baru. Selisih subsidi ini dapat dibantu oleh pemerintah daerah.

Opsi ini akan memberikan informasi kepada pemerintah daerah, BPJS Kesehatan, siapa saja di antara peserta mandiri kelas 3 yang rentan tidak melanjutkan membayar iuran karena pendapatan bulanannya yang tidak tetap. Selain itu, opsi ini memungkinkan penerapan premi iuran BPJS Kesehatan secara regional. Daerah yang penggunaan layanan kesehatan lebih tinggi diminta membayar lebih besar. Ini akan memperbaiki rasa keadilan misalnya, kesenjangan pemanfaatan layanan kesehatan yang saat ini berbeda antardaerah.

Kedua, mengatur ulang bagaimana cara membelanjakan dana kesehatan secara efisien di tingkat penyedia layanan kesehatan. Misalnya, investasi secara serius di layanan kesehatan tingkat pertama seperti Puskesmas dan klinik.

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2018, dari hampir 10.000 Puskesmas, hanya 58% diklasifikasikan sebagai Puskesmas yang menyediakan layanan standar. Sementara itu, saat ini lebih dari 70% dana JKN digunakan untuk layanan rumah sakit. Perbaikan kualitas dan standar fasilitas layanan kesehatan tingkat pertama diperlukan untuk belanja kesehatan lebih efisien.

Hal lainnya, menerapkan pembiayaan berbasis kinerja seperti yang sudah dilakukan oleh pemerintah Thailand. Pembiayaan berbasis kinerja memberikan insentif tambahan bagi penyedia layanan kesehatan ketika mereka dapat menerapkan mutu tinggi dalam layanan, dan saat yang bersamaan juga menerapkan denda ketika standar mutu tidak ditegakkan.

Alternatif lainnya adalah menyediakan ruang fiskal lebih besar untuk kesehatan melalui pengalihan subsidi dan pajak untuk kesehatan.

Pada akhirnya, kebijakan yang baik dalam konteks ini adalah kebijakan yang mendukung keberlanjutan BPJS Kesehatan dan pada saat yang sama tetap bisa diakses secara adil oleh semua peserta serta layanan yang terus meningkat. Itu kebijakan penting bagi Jokowi lima tahun ke depan.

Penulis: Giovanni van Empel

(Peneliti Pusat KP-MAK FK-KMK UGM)

Hai guys, pagi ini kita akan sharing artikel terkait potensi sumber-sumber pembiayaan lain untuk program JKN. Artikel kali ini ditujukan untuk Bapak dan Ibu pengambil kebijakan kesehatan di Indonesia. Artikel ini utamanya ditujukan kepada Bapak Presiden Republik Indonesia, Bapak Menteri Kesehatan, Anggota DPR RI Komisi IX, DJSN, dan BPJS Kesehatan.

Sekitar satu tahun yang lalu tepatnya pada 14 Agustus 2018, Pusat KP-MAK FK-KMK UGM telah melakukan paparan di kemenko PMK mengenai sumber-sumber pendanaan lain untuk JKN. Penulis diberi kepercayaan oleh Bapak Muttaqien, MPH (saat ini merupakan anggota DJSN 2019-2024) untuk memaparkan hasil tersebut di hadapan kemenko PMK, Kementerian Kesehatan, Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perindustrian dan lain sebagainya.

Berikut kita rangkum mengenai apa saja potensi sumber pembiayaan lain untuk program JKN yang telah kita sampaikan di Kemenko PMK Tahun 2018 yang lalu.

CrowdFunding

Peluang dari Crowdfunding:

  • Merupakan budaya masyarakat Indonesia –> gotong royong, bersedekah
  • Filantropi Indonesia terbilang tinggi terutama di bidang sosial
  • Pada Tahun 2017 dari kitabisa.com mengumpulkan sebesar 193 M (dengan rata-rata donasi per orang Rp 230.000,-)
  • Pengalaman Crowdfunding di dunia internasional diperkirakan berhasil mengumpulkan $ 16,2 miliar dollar di tahun 2014

Tantangan dari Crowdfunding:

  • Trust terhadap Lembaga pengumpul dana –> perlu Transparansi
  • Trust terhadap BPJS Kesehatan –> perlu Transparansi
  • Sustainabilitas dana –> butuh membangun Trust terhadap program JKN, Keyakinan kebermanfaatan program, keyakinan bahwa telah secara langsung membantu sesama saudara yang sakit & membutuhkan pelayanan kesehatan.
  • Perlu ada action research mengenai Mekanisme teknis, model dan juga kriteria Mustahik yang berhak mendapatkan bantuan dana ini.

Alokasi Dana Desa

Peluang:

  • Dana desa dengan jumlah Desa di Indonesia sebesar 74.093 Desa (Permendagri No.39 Tahun 2015 ) Dana Desa pada Tahun 2017 meningkat menjadi Rp 60T dengan rara-rata Rp 800 Juta per desa
  • Ketika semua desa berkomitmen membayarkan iuran peserta PBPU yang tidak mampu membayar iuran, dapat menjamin setiap individu akan terlindungi dalam payung JKN-KIS dengan iuran yang dibayar oleh Desa
  • Hasil Kajian ATP WTP PBPU, Bupati Kab.X mengatakan: telah mengalokasikan dana 2 milyar per desa dan salah satunya untuk mengcover jaminan kesehatan

“..kami kan ada 100 desa…dan tiap desa saya kasih uang 2 milyar, dan dari 2 milyar itu include nanti termasuk jaminan kesehatan didalam nya…nanti PEMDES nya…tiap kampung akan melakukan pendataan nih, mana warganya yang belum masuk BPJS nasional, dan termasuk layak untuk di cover itu masuk dalam anggaran desa…”  (Bupati Kab.X)

Tantangan:

  • Dana desa untuk kesehatan dapat digunakan untuk pembangunan poskesdes, MCK, sanitasi, membeli ambulance desa, ambulance laut desa dan sebagainya
  • Belum ada aturan dimana dana desa dapat digunakan membayar iuran masyarakat desa kurang mampu non PBI APBN/PBI APBD –> namun ini dapat diupayakan melalui musyawarah desa
  • Belum ditetapkannya Kriteria Masyarakat Penerima Bantuan Iuran dari ADD
  • Kemungkinan adanya pro dan kontra di masyarakat desa, kemungkinan ada masyarakat desa yang tidak setuju, dan juga karena jaminan kesehatan manfaatnya bersifat perorangan/individu

Kontribusi senilai Rp X dari setiap pembelian item dari makanan dan minuman yang tidak sehat/unhealthy food (fast food, junk food, minuman bersoda, bergula tinggi, kafein tinggi, beralkohol, rokok, dsb)

Peluang:

  • Target pembeli adalah masyarakat menengah ke atas dan berada diwilayah perkotaan
  • Makanan dan minuman tidak sehat (fast food, junk food, bersoda, beralkohol, bergula dan kafein tinggi) banyak dan bervariasi ragamnya serta sebagian besar penjualannya berpusat di perkotaan (Mall, Carefour, indomaret, Afamart, Mc.Donald, KFC, Starbuck, dsb)
  • Sistem pencatatan yang terkomputerisasi, akan memudahkan penagihan karena yang akan disumbangkan adalah senilai x rupiah dari setiap item penjualan.
  • Kemungkinan diterima lebih besar, dengan asumsi pembeli kopi di starbucks tidak akan keberatan ketika ditambahkan 500 rupiah untuk  setiap pembelian 1 cangkir kopi sebagai kontribusi pembayaran iuran JKN Peserta sector informal/PBPU yang tidak mampu membayar iuran.

Tantangan:

  • Belum adanya regulasi yang mengatur/memayungi
  • Belum adanya model/mekanisme teknis
  • Perlu dilakukan survey penerimaan masyarakat & dampak terhadap ekonomi

Diatas adalah rangkuman dari hasil paparan kita di Kemenko PMK pada Agustus 2018.

Nah guys, sewaktu kita paparan saat itu kita hanya berfikir mengenai sumber pendanaan lain JKN sebagai bantuan/suntikan dana dalam mengatasi defisit program JKN, yang artinya masyarakat, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah masih akan membayar iuran atau premi sebagai sumber pendanaan pokoknya. Namun mengenai solusi-solusi tersebut kita belum tahu perkembangannya guys, apakah akhirnya sulit untuk diimplementasikan atau sulit dalam membangun regulasinya atau ada hal lainnya.

Jika dilihat dalam angka, memang potensi-potensi yang kita tawarkan tersebut tidak memiliki nominal yang cukup tinggi, seperti dana desa hanya dapat membantu membayar iuran masyarakat yang kurang mampu di desa tersebut, bukan seluruh masyarakat desa, jika sebagian besar masyarakat desa ternyata kurang mampu, dana desa bisa akan habis hanya untuk membayar iuran JKN, yang bukan tujuan utama dana desa. Begitu juga Crowdfunding nominalnya masih dalam ratusan miliar, dimana JKN butuhnya puluhan Trilliun.

Kali ini kita ingin memberikan solusi yang lebih konkrit guys, yang mungkin bisa menjadi solusi dari permasalahan program JKN di negeri kita tercinta ini. Bapak dan Ibu pembuat kebijakan berikut solusi dari kita:

Kenapa Harus Mengubah Konsep?

Pada artikel sebelumnya “Iuran JKN naik, Bagaimana Potensi Turun Kelas Pelayanan berdasarkan Teori Kemampuan Membayar (ATP)? “ menunjukkan bahwa kemampuan membayar (ATP) sektor PBPU yang memiliki JKN non PBI pada Q1-Q2_a(30% tingkat ekonomi terbawah) ketika iuran JKN naik dan harus membayar untuk semua anggota keluarganya adalah menjadi unable(tidak mampu membayar iuran untuk anggota rumah tangganya). Sedangkan untuk kelompok Q2_b, Q3, dan Q4 (50% tingkat ekonomi menengah kebawah) memiliki kemampuan membayar pada kelas 3 ketika iuran naik, dan untuk kelompok Q5_a (10% tingkat ekonomi menengah ke atas) memiliki rata-rata kemampuan membayar pada kelas 2. Hanya kelompok Q5_b(10% tingkat ekonomi teratas) yang memiliki kemampuan pada kelas 1, dan tidak akan berdampak terhadap kenaikan iuran (baik saat ini pilihannya pada kelas 1, 2 atau 3). Dari hasil tersebut menunjukkan kemungkinan timbul masalah baru ketika iuran JKN dinaikkan bagi sektor PBPU dan Bukan Pekerja ini, asumsinya dapat turun kelas (jika masif akan berdampak pada revenue JKN) atau drop dari skema JKN (menjauhkan tujuan cakupan kesehatan semesta).

Artikel tersebut baru membahas PBPU, belum PPU yang juga naik dan dampak bagaimana akhirnya keputusan perusahaan-perusahaan nantinya terhadap hal tersebut, serta kenaikan PBI APBD yang saat ini juga dikeluhkan beberapa daerah.

Sebagaimana yang kita ketahui saat ini defisit program JKN semakin besar (tahun 2019 diprediksi 32,84 triliun), banyak piutang di RS-RS yang belum dibayarkan begitu juga perusahaan farmasi yang harus menalangi dahulu obat-obat untuk Rumah Sakit.

Dari kedua hal tersebut (permasalahan di pemasukan dan belanja) jika tidak ada perombakan sumber pembiayaan dan kendali di pengeluaran akan membuat JKN sulit bertahan.

Program Sumbangsih Rakyat untuk JKN

Rekomendasi solusi ini kita beri nama program sumbangsih Rakyat untuk JKN. Sumbangsih rakyat untuk JKN akan merubah banyak konsep JKN yang ada saat ini, jika ingin mengimplementasikan sumbangsih rakyat untuk JKN maka perlu merubah beberapa point dalam UU SJSN dan turunannya.

Berangkat dari kenapa harus mengubah konsep, keluarlah ide Sumbangsih rakyat untuk JKN. Ide ini konsepnya hampir sama dengan yang kita usulkan sebelumnya di Kemenko PMK tahun lalu, yaitu kontribusi senilai RpX dari setiap barang yang dijual. Contohnya menerapkan kontribusi sebesar Rp 500 (lima ratus rupiah) dari setiap pembelian 1 produk makanan fast food, junk food, tinggi gula, tinggi kafein, soda, dsb.

Ide awal di tahun lalu, terfikirkan dari keyakinan bahwa masyarakat Indonesia tidak akan merasa keberatan ketika setiap membeli 1 cangkir starbucks yang harganya sekitar 30ribu hingga 50 ribu rupiah kemudian ditambahkan 500 rupiah sebagai kontribusi untuk program JKN. 500 rupiah dari harga kopi yang dibeli 50ribu rupiah tidak akan terasa dan masyarakat tidak akan keberatan mengeluarkannya, ini asumsinya. Begitu juga untuk KFC, MC Donald, dsb.

Kali ini kita berfikir lebih luas untuk menerapkan konsep tersebut pada seluruh produk yang kita konsumsi sehari-hari. Disini kita tidak berbicara pajak, kita berbicara mengenai kontribusi langsung dari masyarakat dan fokusnya masih pada barang terlebih dahulu belum jasa.

Contoh produk yang kita konsumsi dan gunakan sehari-hari antara lain: dimulai dari dapur ada gas, minyak goreng, garam, gula, penyedap rasa, kompor, cookies, roti, mie instan, sapu, kulkas, mesin cuci, panci, piring, gelas, ember dan sebagainya, kemudian ke ruang keluarga ada sofa, tv, lemari, meja, kursi, assesoris, dsb, kemudian pindah ke kamar mandi ada sabun, sampo, pasta gigi, sikat gigi, dsb, kemudian ke kamar tidur ada kasur, tempat tidur, bantal, sprei, selimut, baju, kaos kaki, sepatu dan sebagainya, kemudian pindah ke teras ada motor, mobil, pot bunga, dsb.

JIka dari semua itu diambil kontribusi sebesar 2% untuk 1 produk, maka akan cukup untuk mendanai program JKN di Indonesia.  Misalkan sampo, harga sampo sekitar Rp7ribu rupiah maka jika kita ambil 2% harga sampo akan menjadi Rp7.140. Seratus empat puluh rupiah tidak akan berat bagi masyarakat dan tidak akan terasa. Ini baru sampo, untuk lebih detail kita dapat melakukan kajian khusus untuk perhitungan ini. Asumsinya ketika harga barang Rp50ribu rupiah maka kontribusinya adalah Rp1ribu, ketika harga barang Rp10ribu kontribusinya 200 rupiah. Dari bayangan awal (yang belum dihitung secara detail) ada ribuan produk dan jutaan penjualan untuk seluruh Indonesia setiap tahunnya.

Dengan konsep ini sudah pasti lebih progresif, karena semakin kaya seseorang akan semakin banyak produk yang dikonsumsi dan digunakan sehingga semakin besar kontribusinya untuk membayar sumbangsih rakyat untuk JKN.  Isu ketidakadilan juga dapat teratasi karena sudah pasti lebih banyak konsumsi orang di kota terhadap barang-barang tersebut daripada penduduk di desa. Ketika dana yang terkumpul telah cukup banyak maka akan dapat membantu membangun fasilitas kesehatan dan Rumah Sakit di daerah rural.

Ketika Sumbangsih rakyat untuk JKN telah dijalankan maka tidak ada lagi IURAN/Premi JKN. Karena semua pelayanan akan menggunakan dana kontribusi dari setiap masyarakat tersebut. Sehingga tidak akan ada lagi istilah yang menunggak dan keluar dari program JKN. Pemda dan perusahaan akan lebih tenang karena tidak perlu memikirkan premi rakyat dan pegawainya, namun tetap dapat berkontribusi dalam bentuk lain, seperti membangun fasilitas kesehatan dan menyediakan tenaga medis dan kesehatan.

Untuk dapat mengimplementasikan Sumbangsih Rakyat untuk Program JKN ini kita sangat membutuhkan Bapak Presiden RI dan DPR RI.

Bapak Presiden RI perlu membuat kebijakan yang memerintahkan seluruh perusahaan di negeri ini untuk ikut hadir dalam Sumbangsih Rakyat untuk JKN. Dimana semua perusahaan akan berperan dalam mengumpulkan 2% dari setiap produk yang dijualnya. Perusahaan akan memberikan sumbangsihnya dalam melaporkan jumlah unit yang telah terjual dan dana 2% untuk program JKN. Pelaporan akan menjadi lebih mudah ketika pencatatan dan pelaporan perusahaan telah terkomputerisasi. Kontribusi dari perusahaan-perusahaan di seluruh Indonesia ini dapat menjadi bentuk sumbangsihnya kepada rakyat Indonesia yang mana selama ini perusahaan juga telah mendapatkan banyak manfaat dan berkah dari rakyat Indonesia.

Selanjutnya tugas BPJS Kesehatan adalah mengumpulkan semua dana dari seluruh perusahaan di Indonesia (sebagai revenue) dan melakukan pembayaran ke fasilitas kesehatan secara strategik.

Demikianlah ide Sumbangsih Rakyat untuk JKN. Ide ini masih memiliki tantangan, antara lain:

  1. Perlu perombakan sistem revenue yang ada saat ini
  2. Sudah pasti akan merubah beberapa point di UU SJSN dan turunannya terkait pengumpulan iuran
  3. Masih belum dilakukan perhitungan rinci dari seluruh produk yang terjual di Indonesia. Perlu sebuah kajian.
  4. Perlu melihat pandangan masyarakat
  5. Perlu melihat dampak ekonomi.

Namun demikian ide ini juga memiliki peluang antara lain:

  1. Sumber dana DJS dari sumbangsih rakyat untuk JKN tidak tergantung dari dana pajak yang dikelola oleh negara (menteri keuangan).
  2. Sumbangsih rakyat untuk JKN merupakan dana kontribusi langsung dari rakyat yang dititipkan melalui perusahaan-perusahaan yang menjual produknya untuk kemudian dikumpulkan dan dikelola langsung oleh BPJS Kesehatan secara efisien (strategik).
  3. angka 2% masih dalam batas kemampuan membayar rumah tangga untuk pelayanan kesehatan berdasarkan teori kemampuan membayar russel (2-5% dari total pengeluaran), ketika rumah tangga tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk pelayanan kesehatan, dan hanya berkontribusi pada sumbangsih rakyat untuk JKN, maka masih dalam batas kemampuan rumah tangga tersebut.
  4. Sumbangsih rakyat untuk JKN berbeda prinsip dengan iuran/premi, premi bersifat mengikat dengan nominal tertentu dimana terkadang kemampuan rumah tangga akan berbeda setiap hari dan atau bulannya ketika tidak memiliki pekerjaan tetap. Dengan pendekatan sumbangsih rakyat untuk JKN secara tidak langsung dapat melindungi rumah tangga yang ketika dalam bulan ini mendapatkan penghasilan sedikit maka akan belanja kebutuhan sehari-hari yang lebih sedikit, dan masih dapat terjamin dalam program JKN tanpa memikirkan membayar iuran, karena rumah tangga tersebut juga masih berkontribusi pada DJS namun dalam nominal yang lebih kecil, begitu juga ketika rumah tangga tersebut menjadi kaya yang mana konsumsinya juga akan meningkat dan kontribusinya juga menjadi lebih besar. –> prinsip gotong royong masih berjalan
  5. Sumbangsih rakyat untuk JKN menitipkan kontribusi untuk dana DJS dari setiap rakyat melalui pembelian barang konsumsi kebutuhan sehari-hari, yang mana berarti setiap rakyat pasti akan berkontribusi setiap hari dan setiap tahunnya, sesuai dengan kemampuannya.

Berikut link untuk mendownload PPT pemaparan sumber pendanaan lain di Kemenko PMK tahun 2018

Penulis: Vini Aristianti

(Peneliti Pusat KP-MAK FK-KMK UGM)

Hai guys, pagi ini kita ingin sharing artikel terkait kenaikan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), berdasarkan Perpres No.75 tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres No.82 tahun 2018 tentang jaminan kesehatan, yang sejak satu bulan ini berseliweran di WA-WA grup kita. Isi Perpres ini yaitu mengenai kenaikan iuran JKN pada kelompok PBI (APBD, APBN), PPU (pekerja swasta, PNS, TNI, Polri), PBPU(pekerja informal) dan Bukan Pekerja (Pensiunan, investor dsb). Namun pada artikel ini kita hanya akan fokus pada kelompok PBPU.

Saat ini masih ada pro dan kontra terkait kenaikan iuran JKN, termasuk Komisi IX DPR kita yang juga masih belum setuju jika iuran PBPU dan Bukan Pekerja Kelas III dinaikan.

Terus kalau iuran JKN memang harus naik, kita mau apa? mau protes! sabar dulu guys….sebagai kaum milenial yang hidup di era digital yang penuh dengan keterbukaan, kita harus cari tahu duduk permasalahannya, mencari data-data dan faktanya, sebelum kita protes ya guys, karena berbicara tanpa data itu seperti angin yang berlalu begitu saja tanpa ada tindak lanjut dalam pencarian solusinya.

Kenapa Iuran JKN harus Naik?

Yuk , kita coba jabarkan permasalahan JKN ini  satu per satu: 1. Kenapa sih iuran JKN harus naik? Jadi guys, berdasarkan perhitungan aktuaria besar iuran JKN kita saat ini masih lebih kecil dari biaya yang seharusnya kita bayarkan. Bahasa lainnya lebih besar pengeluaran untuk biaya pengobatan dari pada iuran yang masuk dari seluruh peserta JKN se-Indonesia. Berikut tabel rincinya guys, data ini kita dapat dari presentasi BPJS Kesehatan, namun sayang kita hanya mendapatkan data total tagihan biaya pelayanan kesehatan, besar defisit BPJS Kesehatan dan bantuan pemerintah. Kita belum memiliki data besar iuran yang terkumpul di tahun 2014, 2015, 2016, 2017 dan 2018 sehingga kita tidak dapat membandingkan sendiri secara langsung antara biaya klaim dan total iuran yang terkumpul.

Tabel 1

Sumber:BPJS Kesehatan, 2019

Dari tabel di atas terlihat biaya klaim peserta JKN se-Indonesia meningkat setiap tahunnya hingga terakhir di tahun 2018 adalah sebesar 94 Triliun, dengan defisit sebesar 19,4 Trilliun.

Walau belum bisa membandingkan langsung data klaim dan total iuran yang masuk, namun demikian kita masih memiliki informasi terkait besar klaim per orang per bulan untuk kelompok peserta PBPU Kelas 1, 2 dan 3 pada tabel dibawah ini.

Tabel 2

Sumber: DJSN, 2019

Terlihat jika kita membandingkan besar klaim per orang per bulan (POPB) dengan besar iuran per orang per bulan untuk kelompok PBPU baik kelas 1, 2 dan 3 adalah jauh lebih besar biaya klaim POPB dibanding besar iurannya, jika dilihat rasio_klaimnya lebih dari 300% di tahun 2018. Jadi guys dari data ini sudah jelas bahwa iuran kita kurang untuk membiayai seluruh layanan kesehatan yang digunakan peserta JKN se-indonesia, khususnya pada segmen PBPU ini.

Dikatakan juga bahwa sepanjang tahun 2018 jumlah iuran PBPU yang terkumpul adalah 8,9 Trilliun, sedangkan biaya klaim sebesar 27,9 Trilliun yang berarti klaim rasionya sebesar 313%, hal ini salah satu penyebabnya karena 46,3% segmen PBPU menunggak membayar iuran (DJSN, 2019).

Sekarang kita sudah tahu ya guys kenapa iuran JKN harus naik?, jika dari data diatas karena memang tagihan pelayanan kesehatan semakin besar dan dana yang terkumpul dari iuran tidak cukup untuk membayar biaya tagihan (klaim) tersebut.

Oke, iuran JKN harus naik jika semua layanan ingin dicover seperti saat ini. Namun masalah tidak berhenti disini karena setelah iuran JKN naik akan ada dampak yang ditimbulkan, salah satunya yaitu: 2. Akan adanya potensi peserta yang turun kelas atau keluar dari skema JKN. Wah, mengerikan sekali ini, padahal skema JKN ini memiliki tujuan untuk menjamin setiap orang, siapapun dimanapun bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya, jika karena iuran JKN naik kemudian mereka menunggak yang berarti mereka tidak tercover dan tidak terlindungi dalam skema JKN. Alih-alih mencari solusi defisit malah membuat cakupan kesehatan universal semakin menjauh.

Sebelum membuat kesimpulan ayuk kita hitung bersama, berapa sih sebenarnya kemampuan membayar masyarakat Indonesia. Kali ini kita menggunakan data susenas tahun 2018 guys, sebelumnya kita mau berterima kasih dahulu pada kantor kita (Pusat KP-MAK FK-KMK UGM) yang telah menyediakan data ini secara free.

Berapa Kemampuan Membayar (ATP) Kelompok PBPU dan BP di Indonesia?

Yuk kita hitung kemampuan membayar masyarakat kita beserta potensi peserta yang akan turun kelas jika berdasarkan teori kemampuan membayar (Ability to Pay) Russel (atp: 2-5% total pengeluaran rumah tangga).

Dalam analisis data susenas tahun 2018 kali ini kita hanya melihat pada kelompok PBPU dan Bukan Pekerja. Dimana pada data set hanya kita pertahankan seluruh individu yang mengatakan memiliki BPJS Kesehatan Non PBI (selainnya kita drop). Kemudian dari seluruh individu ini kita seleksi kembali yang pekerjaannya hanya termasuk sebagai berikut: 1. Berusaha sendiri; 2. Berusaha dibantu buruh tidak tetap/ buruh tidak dibayar; 3. Berusaha dibantu buruh tetap/ buruh dibayar; 5.Pekerja bebas dan 6. Pekerja keluarga atau tidak dibayar. Untuk point 4. Buruh/karyawan/pegawai ini juga kita drop. Setelah itu data individu ini kita unikkan menjadi data rumah tangga, unit analisis kita rumah tangga ya.

Disini kita akan membuat 4 skenario:

  1. Skenario pertama melihat kemampuan membayar berdasarkan 5% rata-rata total pengeluaran rumah tangga dan potensi penurunan kelas berdasarkan hanya untuk membayar jumlah peserta JKN non-PBI yang telah terdaftar dan ada dalam rumah tangga
  2. Skenario kedua melihat kemampuan membayar berdasarkan 5% rata-rata total pengeluaran rumah tangga dan potensi penurunan kelas berdasarkan jika harus membayar iuran berdasarkan rata-rata jumlah anggota dalam rumah tangga
  3. Skenario ketiga melihat kemampuan membayar berdasarkan 5% rata-rata disposable income rumah tangga dan potensi penurunan kelas berdasarkan hanya untuk membayar jumlah peserta JKN non-PBI yang telah terdaftar dan ada dalam rumah tangga
  4. Skenario keempat melihat kemampuan membayar berdasarkan 5% rata-rata disposable income rumah tangga dan potensi penurunan kelas berdasarkan jika harus membayar iuran berdasarkan rata-rata jumlah anggota dalam rumah tangga

Rata-rata besar pengeluaran rumah tangga disini kita bagi menjadi 10 kelompok ekonomi (dimana setiap q1,q2,q3,q4 dan q5 kita bagi menjadi dua kelompok lagi). Mengapa kita membagi menjadi 10 kelompok, harapannya dengan membuat kelompok semakin banyak akan memperkecil variance di dalam setiap kelompok.

Berikut hasil perhitungan skenario 1:

Terlihat rata-rata besar kemampuan membayar pada kelompok berpengeluaran Rp1,5 juta adalah sebesar Rp78,689; kelompok dengan pengeluaran Rp2,4 juta adalah Rp122,439; kelompok berpengeluaran Rp3juta adalah Rp153.765, dan seterusnya

Pada shading warna kuning yaitu pada q1 dan q2_a dengan nilai rata-rata pengeluaran rumah tangga sebulan pada 1,5 juta hingga 3 juta rupiah, terlihat berpotensi untuk mengalami turun kelas jika berdasarkan skenario ini (skenario ketika hanya membayar iuran pada satu peserta terdaftar di dalam rumah tangga). Jika dilihat ketika dengan besar iuran saat ini rumah tangga berkemampuan membayar iuran di kelas 2 maka setelah iuran naik rumah tangga ini hanya berkemampuan membayar di kelas 3. Sedangkan untuk yang awalnya berkemampuan di kelas 1 menjadi turun berkemampuan di kelas 2. (data ini menunjukkan adanya potensi penurunan hampir 100% dari kelompok q1dan q2_a, berdasarkan kemampuan membayar/ability to pay mereka).

Hal ini akan berbeda jika pada kenyataannya kelompok ini telah memilih kelas 3 sejak awal berarti jika iuran naik mereka masih dalam kategori mampu untuk membayar kelas 3. Akan berbeda juga jika pada kelompok ini kenyataannya saat ini telah menunggak membayar iuran, maka mereka akan tetap drop dari skema JKN.

Skenario 2:

Shading kuning pada q1 dan q2_a, ketika harus membayar untuk seluruh anggota rumah tangga, kelompok ini memiliki potensi menunggak atau drop out ketika iuran naik, dimana memang skenario ini belum mempertimbangkan data real persebaran kelas peserta pada setiap kelompok dan kenyataan pada saat ini telah ada 46% PBPU yang menunggak membayar iuran JKN. Kelompok shading kuning berada pada rata-rata rentang pengeluaran rumah tangga sebesar 1,5 juta hingga 3 juta rupiah.

Shading berwarna hijau menunjukkan adanya potensi turun kelas yaitu pada kelompok PBPU di q3, q4 dan q5_a (rentang rata-rata pengeluaran 4 juta hingga 9 juta rupiah). jika dari skenario ini terlihat setiap yang berkemampuan di kelas 2 hampir semua (sebagian besar) setelah iuran naik akan turun berkemampuan di kelas 3Pada kelompok yang tahun 2018 berkemampuan di kelas 1, setelah iuran naik sebagian menjadi berkemampuan kelas 3 serta sebagian lagi menjadi berkemampuan membayar iur di kelas 2Untuk q5_b dengan rata-rata penghasilan 17juta (dengan rentang 10juta hingga ratusan juta) per bulan kemungkinan besar tidak akan berdampak terhadap pilihan kelas layanannya walau iuran JKN naik. Ya kelompok yang tidak terdampak ini hanya sebanyak 10% dari kelompok ekonomi teratas kita pada pekerja Informal yang terdaftar memiliki JKN non PBI berdasarkan data susenas 2018.

Apakah potensi turun kelas ini telah diperhitungkan ya, dalam mengatasi defisit? Karena jika kita lihat ketika awalnya rumah tangga berada dikelas 2 atau kelas 1 kemudian menjadi turun ke kelas 3 terlihat ada selisih besar iuran yang dibayarkan dimana iuran yang dikeluarkan pada saat ini lebih besar dari total iuran yang akan dikeluarkan ketika turun kelas pelayanan. Hal ini akan berdampak pada revenue program JKN, yang jika terjadi massif total penerimaan akan lebih kecil setelah nanti iuran dinaikkan dibandingkan total penerimaan saat ini ketika iuran belum naik.

Sekali lagi guys, perhitungan ini masih menggunakan asumsi yang general seperti  membulatkan sesuatu yang pada kenyataan tidak sebulat itu. Semoga ini masih bisa memberikan sketsa kasar walau belum gambar utuh.

Pada dasarnya potensi terjadinya penurunan kelas tidak semata dipengaruhi faktor kemampuan membayar, namun ada banyak faktor lainnya seperti: kemauan membayar, kondisi kesehatan saat ini, riwayat kesehatan masa lalu, jiwa gotong royong tolong menolong, pengalaman masa lalu, sadar akan risiko dan potensinya untuk sakit sewaktu-waktu, pengetahuan, mencari kenyamanan, dan lain sebagainya.

Selanjutnya setelah melihat hal ini kita juga bingung guys, disatu sisi biaya klaim cukup besar namun disisi lain kemampuan rumah tangga kita pada beberapa kelompok ekonomi tidak sebesar iuran idealnya.

Jika pada akhirnya diberi alternative mengurangi paket manfaat atau benefit pelayanan terutama untuk penyakit-penyakit berbiaya mahal (katastrofik), ini juga bukan pilihan bagus karena akan membuat potensi rumah tangga jatuh miskin karena membayar biaya penyakit katastrofik yang cenderung mahal meningkat, dan akan berdampak pada menjauhnya capaian dari tujuan cakupan kesehatan semesta yaitu perlindungan finansial ketika sakit.

Namun demikian harapan itu selalu ada guys, ya masih ada kita, dapat dimulai dari kita, yang PBPU bisa usaha tidak turun kelas dahulu hingga titik darah penghabisan, mungkin kita bisa membantu walau tidak banyak, sebagaimana pak Menteri kesehatan telah memulainya dengan menyerahkan gaji dan tunjungan bulan pertama sebagai menkes untuk keberlanjutan program JKN. Sebagai kaum milenial yang memiliki jiwa sosial, mungkin kita bisa membantu dengan semampu kita, karena saat ini BPJS Kesehatan telah membuka program CrowdfundingJika sendiri terlihat mustahil mengumpulkan uang puluhan trilliun, namun jika kita bersama walau menyumbang semampunya, insyallah dapat membantu program JKN ini. Karena telah banyak orang yang terbantu dengan program JKN dan saat ini masih banyak pasien yang berharap program JKN tetap ada.

Harapan kedua kita adalah Bapak Presiden RI. Bapak presiden pasti lebih mengetahui apa yang harus dilakukan.

Harapan Ketiga Provider berbaik hati untuk menjaga efisiensi tanpa mengurangi kualitas pelayanan.

Harapan Keempat kita menjaga kesehatan dengan  pola perilaku hidup sehat, untuk mencegah klaim penyakit-penyakit degenerative kedepannya.

Alternatif lainnya ketika masyarakat dan negara dapat berkomitmen dengan jaminan kesehatan semesta ini kita dapat bersama melakukan partial subsidi bagi masyarakat yang berpotensi drop out dari skema JKN. Namun berdasarkan hasil kajian Pusat KP-MAK tahun 2016, untuk partial subsidi ini harus ada regulasi yang jelas, jangan sampai uang yang telah dibayarkan pemerintah dan dana dari crowdfunding masyarakat tidak menemukan pasangan partialnya, sehingga hanya akan mengambang di sistem tidak dapat digunakan atau malah bisa menjadi temuan, karena tertuduh merugikan negara.

Artikel ini masih untuk sharing gambaran kasar.

Pada artikel selanjutnya kita akan menambahkan pembahasan potensi dari pengeluaran non essensial food ketika dialihkan untuk pembayaran iuaran JKN, apakah besarnya cukup membantu? (non essensial food yang biasa kita hitung adalah dari pengeluaran untuk rokok, makanan ringan, dan minuman bersoda). Walau memang nantinya akan menjadi tantangan sendiri ketika harus memaksa pengeluaran non essensial food rumah tangga menjadi potensi pembayaran iuran JKN.

Penulis: Vini

Analisis data: Vini dan Hermawati Setyaningsih

(Peneliti Pusat KP-MAK FK-KMK UGM)