RILIS BERITA

Pusat KP-MAK FK-KMK UGM dengan dukungan Program Nuffic melakukan kunjungan ke Thai Casemix Centre di Bangkok Thailand selama tiga hari (01 – 03 April 2019). Kunjungan ini bertujuan untuk:

  1. Berbagi pengalaman Thailand mengenai proses dan sejarah pengenalan dan pengembangan mekanisme pembayaran penyedia (Provider Payment System) dalam model berbasis DRG-GB.
  2. Kunjungan ke Jaminan Kesehatan Nasional dan unit perawatan kesehatan untuk mendapatkan pemahaman tentang Sistem Pembayaran DRG-GB Thailand
  3. Mengidentifikasi masalah teknis untuk penguatan melalui pertukaran pengetahuan dan dukungan teknis jangka Panjang.

Selama tiga hari kunjungan, 2 hari pertama membahas aspek teknis penyusunan DRG dengan partner Thailand CaseMix Centre (TCMC) yang dipimpin oleh Dr. Supasit Pannarunothai, Dr. Orathai Khiarocharoen dan Dr. Chairoj Zungzontiporn dari Central office for Healthcare Information (CHI). Hari ke-3 diisi dengan kunjungan ke RS di salah satu distrik dekat ibukota Bangkok, yaitu Bang Yai Community Hospital. Kunjungan diakhiri dengan visitasi ke National Health Security Office (NHSO), badan penyelenggara jaminan kesehatan untuk skema Universal Coverage (bagi masyarakat yang tidak terjamin di dua skema lain – termasuk kelompok sektor informal) dengan cakupan perlindungan lebih dari 75% penduduk Thailand. Perwakilan dari NHSO, Dr. Wilailuk dan dr. Kriddhiya Sriprasert (Senior Director of Fund Management Cluster) memaparkan tentang alokasi pembiayaan, mekanisme reimbursement dan sistem audit dalam skema Universal Coverage (UC)

Sejarah Perkembangan DRG di Thailand

Thailand pertama kali memulai mengembangkan DRG pada tahun 1993, dimana DRG digunakan untuk layanan gawat darurat dengan setting Instalasi Gawat Darurat (IGD). Pengembangan Thai DRG berlanjut pada tahun 1995, Thailand meluncurkan DRG khusus untuk layanan pada skema asuransi yang melayani kelompok low income. Kedua DRG ini belum menyeluruh, masih terkotak-kotak untuk layanan tertentu/kelompok tertentu. Baru di tahun 1998 Thailand meluncurkan ThaiDRG versi 1 dan terus berkembang hingga di tahun 2018 yaitu versi 6 siap untuk diimplementasikan pada RS yang bekerja sama dengan skema asuransi di Thailand.

TCMC dipimpin oleh Dr. Supasit yang merupakan institusi independen diluar struktur Kementerian Kesehatan Masyarakat (Ministry of Public Health – MOPH) ataupun badan penjamin asuransi kesehatan yang ada di Thailand. Namun demikian, kemitraan antar institusi ini berlangsung erat. TCMC memiliki fungsi utama untuk melakukan analisa DRG, implementasinya di RS, mengembangkan ataupun mengurangi DRG jika diperlukan, hingga penyempurnaan DRG melalui perhitungan dan kalibrasi ulang setiap 5 tahun. Orientasi pengembangan DRG di Thailand adalah tingginya tingkat praktikalitas, hal ini untuk memudahkan proses perhitungan dan kalibrasi ulang oleh peneliti DRG yang berkolaborasi. Kemitraan TCMC dengan berbagai stakeholder memungkinkan untuk berbagi data klaim RS dengan badan penjamin. Kolaborasi antar-institusi ini sangat krusial agar pengembangan ThaiDRG dapat terus dilakukan secara terus menerus.

Dr. Supasit menyampaikan faktor kesuksesan Thai DRG terdapat pada beberapa hal penting. Pertama, sistem informasi dan teknologi. Sistem IT yang dapat diandalkan dan terhubung merupakan kunci yang memungkinkan pengembangan dan evaluasi ThaiDRG secara cepat dan tepat. Hal ini juga berkontribusi terhadap penghematan biaya cetak dan transport materi data klaim. Kedua, dana hibah terus menerus untuk pengembangan. Dana ini mayoritas bersumber pada sumber dana domestik yang dialokasikan secara strategis untuk pengembangan ThaiDRG. Dana ini memungkinkan untuk melakukan pengembangan kapasitas peneliti/ahli DRG ataupun mendapatkan input berharga dari ahli. Ketiga, proses pengembangan berlangsung terbuka dan transparan. Metode perhitungan dapat dilihat dan dipertanggungjawabkan, selain itu panduan kode juga ditulis secara terinci untuk memudahkan RS dalam melaporkan data klaim. Keterbukaan ini juga mendorong partisipasi dari semua pihak terkait, badan penjamin, RS, kolegium spesialis, maupun kementerian terkait.

Aspek Teknis Thai DRG

ThaiDRG mengadopsi DRG dari Amerika Serikat dan melakukan penyesuaian dalam hal klasifikasi tingkat keparahan suatu penyakit yang lebih detail. Hal ini dilakukan untuk menangkap variasi karakteristik individu pasien yang lebih beragam, dan memberikan bobot yang lebih pas untuk besaran biaya reimbursement RS.

Secara umum, sistem ThaiDRG dan Indonesia tidak banyak perbedaan. Konsep utama perhitungan tariff DRG adalah base rate dikalikan dengan Relative Weight (RW). Dimana base rate adalah tariff dasar suatu DRG yang dikalikan dengan RW, indikator yang menangkap beban biaya suatu DRG spesifik di RS relatif terhadap beban biaya keseluruhan kasus yang dikeluarkan RS. Setiap kode DRG memiliki RW masing-masing.

RW yang didapat secara kasar ini akan dilakukan penyesuaian (adjustment) berdasarkan kriteria seperti Length of Stay (LOS), dengan menghadapkan pada rata-rata LOS suatu DRG spesifik relative terhadap LOS semua kasus. Adjusted RW ini yang digunakan sebagai pengali (multiplier) dengan base rate untuk mendapatkan besaran yang akan dibayarkan kepada RS. Teknik statistik visual seperti boxplot, histogram dan scatter plot digunakan untuk melihat distribusi LOS dan mengidentifikasi kasus-kasus outlier.

Classification

klasifikasi, memutuskan apakah memerlukan DRG baru atau tidak digunakan teknik statistik sederhana dalam bentuk Coefficient of Variation (CV) serta Reduction in Variance (RIV). Kasus ini misalnya diperlukan ketika ada perbedaan signifikan pada tindakan prosedural tunggal pada area tubuh tertentu dengan misalnya tindakan procedural sama yang berulang pada lebih dari 1 area tubuh. Maka diperlukan pembentukan DRG baru untuk mengakomodasi perbedaan ini.

Calibration

Calibration pada Thai DRG menggunakan pendekatan Geometric mean dan R-square for fitting model

Payment

Payment dapat dilakukan dengan pendekatan differential rate dan trim point for payment

Lesson Learned dari Pengalaman ThaiDRG

  • Mempelajari pengembangan DRG di Thailand ada beberapa perbedaan dengan pengembangan DRG di Indonesia. Thailand awalnya membeli software AR DRG, sehingga mereka mempunyai manual book dalam penyusunan grouper.  Algoritma dan logic yang digunakan dalam grouper tersebut dapat mereka pelajari, sehingga lebih mudah dalam implementasinya. Sementara Indonesia awalnya dipinjamkan grouper dari 3M (suatu NGO) selama 1 tahun, namun kemudian memutuskan tidak membeli grouper tersebut karena terlalu mahal. Selanjutnya Indonesia bekerja sama dengan UNO yang meminjamkan grouper tersebut, namun mereka tidak memberikan manual book. Akibatnya jika ada tariff yang tidak sesuai maka solusinya adalah memperbaiki tarifnya bukan klasifikasinya.
  • Dalam workshop ini Thai casemix membagi manual booknya dan cara menyusun klasifikasinya. Thai DRG masih menggunakan klasifikasi dari AR DRG, namun menyesuaikan dengan data costing dan data pelayanan dari implementasi asuransi kesehatan di Thailand (UC, CSMBS, SSS). Hal ini tentunya akan sangat membantu Indonesia dalam pengembangan native grouper. Tentunya perjalanan dalam pengembangan native grouper di Indonesia tidak bisa serta merta menjiplak algoritma dari Thai DRG.
  • Tahap kedua setelah grouper INA DRG bisa dibuat, harus dilakukan ujicoba dengan  kelompok medis yang bersangkutan, data klaim dan data costing yang ada, apakah hasilnya sesuai dengan INA CBG yang selama ini digunakan. Hal ini tentunya akan memakan waktu sampai menemukan formula grouper yang tepat. Dalam pengembangan Thai DRG mereka membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun sampai ke Thai DRG versi 5. Saat ini mereka sudah menyelesaikan Thai DRG versi 6, namun masih di negosiasikan dengan stakeholder terkait untuk persetujuan implementasinya.
  • Dengan melihat pengalaman perkembangan DRG di Thailand tersebut tentunya kita berharap native grouper INA CBG dapat diselesaikan tahun ini (yang mana telah dimulai perkembangannya sejak tahun 2018). Namun grouper tersebut masih perlu ujicoba dan revisi dalam implementasinya, seperti yang dilakukan pada Thai DRG
  • Pengembangan DRG harus dilakukan secara konsisten dan terus menerus dengan melakukan monitoring dan evaluasi serta perhitungan costing. Dan tentunya ini membutuhkan suatu lembaga independen yang memang melakukan tugasnya secara professional dan independen. Unit ini nantinya akan berpartner dengan kemenkes dan BPJS untuk penetapan DRG. Di Thailand unit ini melibatkan akademisi dan peneliti yang berasal dari universitas. Untuk di Indonesia perlu dipikirkan unit independent seperti ini yang sumber pendanaannya mandiri, namun menerima dana riset dari pemerintah ataupun payer untuk tetap update dan konsentrasi dalam mengembangkan DRG.

Pusat KP-MAK FK-KMK UGM bekerjasama dengan Nuffic telah menyelenggarakan “Kuliah Tamu tentang Digitalisasi, otomatisasi, dan kecerdasan buatan di sektor asuransi kesehatan Jerman”.

Oleh Dr. Jens Geissler

Dr. Jens adalah dosen Health and Social Sector Management di FOM University di Hamburg, Jerman. Beliau merupakan pakar asuransi sosial yang berasal dari Jerman, dan sangat berpengalaman di dalam berbagai proyek teknologi informasi untuk asuransi kesehatan.

Pada kuliah tamu yang dilaksanakan pada 20 Februari 2019, Dr. Geissler menyampaikan topik dengan judul Digitalization, Automation, and Artificial Intelligence. Guna memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien yang berkualitas, sangat diperlukan dukungan sistem teknologi informasi yang baik, terutama di era jaminan kesehatan nasional ini. Salah satu manfaat teknologi informasi dalam dunia asuransi yaitu mempermudah proses administrasi klaim baik dari sisi pemberi pelayanan kesehatan maupun dari sisi insurer. Selain terdapat manfaat, ada pula kelemahan dari teknologi informasi dalam sistem kesehatan ini. Salah satu kelemahan sistem informasi untuk sistem kesehatan terutama rekam medis yaitu penyimpanan data kesehatan yang cukup lama (seumur hidup seseorang).

Lebih lengkapnya kelebihan dan kekurangan teknologi informasi di bidang kesehatan dapat disimak dalam kuliah Dr. Geissler berikut: download materi kuliah tamu Dr. Jens Geissler

(Putri)

Pada Rabu, 20 Februari 2019 telah terselenggara Workshop Kebijakan Jaminan Kesehatan DIY oleh Bapel Jamkesos Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Acara ini dihadiri oleh berbagai instansi pemerintah daerah dan akademisi, seperti Dinas Kesehatan DIY, Jamkesda Kulon Progo, Bantul, Dinas sosial Bantul, Dinas Sosial Kulon Progo, akademisi UII, Pusat KP-MAK FK-KMK UGM, RSUD Kota Yogyakarta, RS Happy land dan lain sebagainya.

Bapel Jamkesos DIY rencananya akan menyelenggarakan sebanyak 8 workshop untuk kebijakan jaminan kesehatan ini.

Workshop pertama yang telah diselenggarakan di Tara Hotel Yogyakarta, hari ini (Rabu, 20 Februari 2019) dihadiri oleh narasumber: 1) Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M,Sc.,Ph.D., 2) Dra. Puji Astuti, M.Si. (kepala Biro Bina Mental Spiritual Sekretariat Daerah DIY); dan Kepala Bapel Jamkesos DIY.

Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M,Sc.,Ph.D menyampaikan mengenai peran daerah dalam pencapaian tujuan sistem jaminan sosial nasional, salah satunya beliau menyampaikan mengenai kontribusi dan peran daerah dalam sistem JKN antara lain:

  1. Sebagai penyangga/pendamping anggaran, jika BPJS Kesehatan mengalami kesulitan keuangan
  2. Memastikan tersedianya infrastruktur fasilitas pelayanan kesehatan, dari sisi kualifikasi, jenis, jumlah dan mutu tenaga kesehatan yang diperlukan did aerah
  3. Bersama-sama dengan pemerintah pusat untuk dapat mencari solusi permasalahan-permasalahan yang terkait dengan akses kesehatan masyarakat di daerah dalam konteks Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat
  4. Menyusun, merumuskan, memvalidasi, dan meng-update data orang miskin daerah yang pembayaran iurannya melalui Penerima Bantuan Iuran (PBI)
  5. Membuka tempat yang dapat menerima keluhan ataupun aduan masalah-masalah terkait dengan akses pelayanan kesehatan dan mampu secara cepat dan tepat mengatasinya
  6. Menyusun dan melaksanakan strategi dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di daerah sebagai bagian dari kewajiban pemerintah daerah dalam pembangunan dan peningkatan kesejahteraan
  7. Sistem surveillance dan sistem informasi tentang penduduk daerah yang telah memiliki jaminan kesehatan serta sumber pembiayaannya sehingga tidak ada yang doubel kartu jaminan atau belum memiliki jaminan sama sekali
  8. Memobilisasi sumber-sumber dana kesehatan sebagai cadangan dan solusi jika ada masyarakat daerah yang mengalami permasalahan kesehatan yang belum dapat teratasi dengan adanya BPJS Kesehatan dan JKN-KIS
  9. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama multisektor dan peningkatan peran perguruan tinggi serta sumber daya manusia professional berkualitas lainnya untuk meningkatkan lingkungan hidup yang sehat, perilaku yang sehat, serta sistem pelayanan kesehatan daerah sehingga derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di daerah dapat dicapai.

Kepala Biro Bina Mental Spiritual Sekretariat Daerah DIY menyampaikan mengenai Roadmap Jamkes DIY (2010-2030) yang salah satunya mengenai verifikasi validasi kepesertaan PBI dan Edukasi peserta mandiri;  kontribusi PBI-KIS APBD Kabupaten/Kota; Pendampingan jaminan penyangga Pemda DIY; Integrasi pelayanan Jamkes Komplemen (Preventif-Rehabilitatif); pendampingan pengendalian kualitas pelayanan.

Dimana integrasi sistem jaminan daerah istimewa Yogyakarta meliputi melindungi kelompok miskin dan marginal yang belum dapat mengakses JKN, melengkapi pelayanan jaminan menuju layanan paripurna, melaksanakan pengendalian mutu menyeluruh, mengembangkan edukasi jaminan mandiri secara harmonis.

Pada sesi diskusi berikut usulan, pendapat dan cerita yang dapat dirangkum:

  • Usulan agar proses validasi dapat dilakukan ditingkat lokal antara pemerintah daerah dengan BPJS Kesehatan setempat, karena ruwetnya proses validasi untuk sampai ke pusat. Perlu terobosan jaminan kesehatan untuk ODGJ.
  • Jamkesda yang di awal memang dianggap illegal, namun setelah ada putusan MK menjadi legal melalui peraturan daerah. Dimana kata integrasi kemudian lebih cocok menjadi konsolidasi, sebagaimana Jamkesos lahir dari local wisdom sebelum JKN.
  • Permasalahan Rumah Sakit terkait Permenkes No 51 Tahun 2018 mengenai selisih biaya di JKN. Rumah sakit mengalami permasalahan banyaknya kasus peserta JKN yang naik kelas lebih dari satu tingkat, dimana pada kebijakan sebelumnya masih ditanggung oleh JKN namun setelah terbitnya PMK 51 tahun 2018 naik kelas lebih dari satu tingkat tidak lagi menjadi tanggungan JKN. Sedangkan Rumah Sakit mengatakan baru mendapatkan regulasi ini baru-baru ini dan PMK ini telah diundangkan sejak 17 Desember 2018. Hal ini membuat Rumah Sakit kebingungan mengatasi selisih biaya ini. Jamkesos DIY masih belum dapat menanggung kasus seperti ini dikarenakan jamkesos DIY hanya untuk pelayanan di kelas 3 dan tidak menanggung iur biaya.
  • Usulan bagi jamsos DIY untuk dapat menanggung seluruh pasien disabilitas (tidak hanya yang miskin saja).
  • Saat ini JKN tidak menanggung kekerasan yang terjadi pada wanita dan anak. Sedangkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak cukup tinggi. Di Yogyakarta Bapel Jamkesos DIY masih dapat menanggung pelayanan kesehatan untuk kasus kekerasan baik pada perempuan dan anak. Namun bagaimana dengan daerah lain yang tidak memiliki sistem seperti Bapel Jamkesos DIY yang dilain sisi JKN tidak menanggung kasus ini.

———

Penulis: Vini