Advokasi Anggaran Malaria: Mendorong Eliminasi Malaria di Indonesia
Indonesia telah membuat kemajuan signifikan dalam pengendalian malaria, namun tantangan yang ada masih besar. Sebagai negara dengan jumlah kasus malaria terbanyak kedua di Asia Tenggara setelah India, Indonesia menyumbang 22% dari total kasus di kawasan ini pada tahun 2021. Pada tahun 2022, tren kasus malaria di tingkat nasional dan regional menunjukkan peningkatan, mengindikasikan bahwa upaya eliminasi belum mencapai hasil yang diharapkan.
Situasi ini diperburuk oleh sejumlah faktor. Beban malaria tidak merata, dengan 89% kasus pada tahun 2022 terpusat di wilayah timur Indonesia. Di Kabupaten Mimika, nilai Annual Parasite Incidence (API) mencapai 367,02‰ pada November 2023, jauh di atas standar eliminasi. Kesenjangan pelaporan juga signifikan, dengan 96% kematian akibat malaria tidak tercatat. Kendala lain meliputi keterbatasan sumber daya manusia, koordinasi lintas sektor yang belum optimal, pendanaan yang tidak memadai, dan sistem informasi yang belum terintegrasi.
Oleh karena itu, advokasi anggaran malaria sangat penting untuk memastikan ketersediaan sumber daya yang memadai dan keberlanjutan program pengendalian malaria di Indonesia. Kegiatan advokasi ini dilakukan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten, dengan fokus studi mendalam di tiga provinsi: Papua (endemisitas tinggi), Nusa Tenggara Timur (endemisitas sedang), dan DKI Jakarta (telah mencapai eliminasi). Selama empat bulan, kegiatan ini melibatkan pengkajian situasi dan analisis anggaran malaria dengan pendekatan mixed-method yang menggabungkan data kuantitatif dan kualitatif.
Beberapa temuan utama dari kegiatan dan penelitian ini mencakup tantangan teknis dan operasional yang menghambat upaya eliminasi malaria di Indonesia. Pelaporan kasus yang belum optimal di daerah endemis tinggi, keterbatasan akses pelayanan kesehatan, rendahnya kepatuhan pengobatan, dan masalah logistik memperlambat kemajuan. Dari sisi pendanaan, terdapat penurunan anggaran malaria yang bersumber dari APBN pada tahun 2024, terutama di sektor P2P Kementerian Kesehatan. Selain itu, ketergantungan Indonesia pada hibah luar negeri untuk mendanai program malaria masih tinggi, dan penyerapan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk malaria masih rendah. Tantangan lain termasuk kurangnya kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria dan faktor budaya serta lingkungan yang meningkatkan risiko penularan.
Berdasarkan temuan ini, disarankan untuk meningkatkan pendanaan domestik dari APBN dan APBD, memperkuat koordinasi lintas sektor, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, dan mengembangkan sistem informasi yang terintegrasi.
Advokasi anggaran malaria adalah langkah penting menuju pencapaian eliminasi malaria di Indonesia. Dengan meningkatkan pendanaan, koordinasi, kapasitas sumber daya manusia, dan sistem informasi, Indonesia dapat mengatasi tantangan yang ada dan mencapai target eliminasi malaria pada tahun 2030.
Kegiatan advokasi ini dilaksanakan oleh tim dari Pusat KPMAK FKKMK UGM dengan dukungan dari APLMA (Asia Pacific Leaders Malaria Alliance). Kami mengucapkan terima kasih kepada Dinas Kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten, serta semua pihak yang telah berkontribusi dalam kegiatan ini. Kolaborasi dan dukungan Anda sangat berarti dalam upaya bersama untuk mewujudkan Indonesia bebas malaria.
Mari bersama-sama dukung upaya eliminasi malaria di Indonesia!
Keywords: Malaria Elimination, Health Financing, Advocacy, SDGs
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!