Mimpi Jaminan Kesehatan Semesta
INDONESIA menargetkan, tahun 2019 seluruh penduduk mendapatkan jaminan kesehatan. Akan tetapi, Data Sistem Monitoring dan Evaluasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (Sismonev DJSN) di September 2017, menunjukkan jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKNKIS) baru mencapai 69,72%. Artinya, masih terdapat 30,3% yang belum memiliki jaminan kesehatan.
Jika diperhatikan, rata-rata pertumbuhan jumlah peserta di tahun 2017, hanya sekitar 0,65%. Dengan angka pertumbuhan ini maka sampai akhir tahun 2019 pun hanya akan mencapai 85,3% penduduk. Artinya, mimpi jaminan kesehatan semesta sulit terwujud.
Sektor Informal
Permasalahan yang menjadi tantangan hampir semua negara untuk menuju universal health coverage adalah menjangkau sektor informal yang sering disebut missing middle. Van Der Gaag (2012) menyatakan paling tidak ada 4 tantangan untuk menjangkau kelompok informal yaitu rendahnya tingkat pendaftaran, kolektabilitas iuran, pendaftaran ulang, dan adverse selection.
Di Indonesia, hampir 4 tahun pelaksanaan JKN persoalan cakupan kepesertaan dan tingkat kolektabilitas iuran menjadi salah satu persoalan penting. Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menunjukkan cakupan kepesertaan sampai saat ini 183,5 juta. Jumlah peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) yang merupakan kelompok informal baru mencapai 13% atau sebanyak 24 juta jiwa. Angka ini masih sangat jauh jika dibandingkan Data Biro Pusat Statistik (BPS, Februari 2017) bahwa jumlah pekerja sektor informal mencapai 72,67 juta jiwa. Walaupun sudah banyak kelompok informal yang terjamin pada kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI) Pusat dan Daerah dan Bukan Pekerja.
Trend pertumbuhan peserta kelompok PBPU 2017 dirasakan semakin melambat. Rata-rata pertambahan jumlah peserta PBPU hanya 404,793 jiwa perbulan. Rendahnya pertumbuhan peserta PBPU ini mengakibatkan target jaminan kesehatan semesta bagi seluruh penduduk pada 2019 sulit tercapai. Sebabnya, masih tinggi kelompok sektor informal yang belum terjamin.
Tingkat kolektabilitas iuran kelompok PBPU dirasakan juga rendah, hanya 51%. Sehingga mengganggu operasional program JKN. Karena antara penerimaan iuran dan pengeluarannya berbeda jauh. Pada September 2017 terdapat 6,5% atau 11,945,864 jiwa yang menunggak membayar premi JKN dengan berbagai alasan. Sehingga angka pertumbuhan jumlah penduduk yang menunggak hampir mendekati pertambahan jumlah peserta.
Tawaran Solusi
Pengalaman banyak negara, tak ada satupun yang mampu memaksa seluruh pekerja sektor informal membayar premi rutin. Sehingga ada berbagai teori yang dikembangan ahli untuk menjangkau sektor informal. Menurut kami paling tidak ada dua pilihan yang tepat untuk Indonesia sekarang.
Pertama, pemerintah memberikan subsidi premi kelas 3 secara penuh kepada seluruh pekerja sektor informal. Ini merupakan pilihan paling cepat, mudah, dan efisien. Karena administrasi yang sederhana, tidak perlu biaya pengumpulan iuran, sosialisasi pendaftaran JKN, dan berbagai biaya lain yang bisa dikurangi. Model ini dikembangkan Thailand melalui program Thai Universal Coverage. Risikonya, berakibat meningkatnya informalitas pekerja.
Kedua model partial subsidy. Yaitu pembiayaan campuran antara kontribusi pekerja sektor informal dan subsidi pemerintah. Untuk itu diperlukan kajian ability to pay (ATP) dan willingness to pay (WTP) terhadap kemampuan pekerja sektor informal membayar iuran. Penelitian Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan Fakultas Kesehatan (KPMAK FK) UGM menunjukkan, ATP pekerja sektor informal yang menunggak pembayaran premi adalah Rp 16.570. Jika ingin menggunakan model partial subsidy, angka ini mungkin bisa digunakan sebagai pijakan awal subsidi premi dari APBN dan APBD untuk sektor informal. Mungkin sekitar Rp 10.000 perorang perbulan.
Model kedua sudah dikembangkan beberapa negara seperti Korea Selatan dan China. Ahli Universal Health Coverage Joe Kutzin dalam salah satu pemaparan di Indonesia menyatakan pilihan kedua ini lebih tepat untuk Indonesia. Dilihat dari faktor ekonomi, politik, maupun budaya.
Jika BPJS kesehatan dan pemerintah tidak menemukan inovasi baru untuk menjangkau sektor informal, maka mimpi Jaminan Kesehatan Semesta tahun 2019 tinggal mimpi yang tak terwujud. Mimpi itu akan terwujud, jika salah satu pilihan solusi di atas dijalankan.
(Muttaqien. Peneliti Pusat KPMAK FK UGM, Anggota MPM PP Muhammadiyah. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa 28 November 2017)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!